- 22 April 2019
- Administrator
Mempersoal perempuan, tidak ada habis-habisnya menjadi bahan perdebatan ketika kita menyinggung entitas masyarakat yang satu ini. Keistimewaan individu penguasa alat produksi dalam menentukan formasi sosial ternyata turut menyeret perempuan dalam penyingkiran yang berkepanjangan. Kemampuan reproduktif yang menjadi salah satu elemen penggerak sejarah umat manusia kemudian di jadikan bumerang untuk memukul mundur posisi perempuan dalam domain domestik. Pembagian kerja yang setara di zaman barbarisme (istilah yang digunakan oleh morgan) berubah menjadi pembagian yang menjerat perempuan kehilangan kekuasaan sumber produksi materilnya.
Berbicara tentang perempuan dalam bingkai demokrasi, adalah sesuatu yang menarik di tengah iklim demokrasi yang partiarkal. Kemampuan untuk menyuarakan pendapat serta cara pandang demokrasi “ala” perempuan adalah sesuatu yang harus dimiliki para perempuan masa kini. Dalam negara demokrasi pengakuan perempuan atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah dan tataran kehidupan public menjadi penting, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan. Peran serta perempuan dalam segala aktifitas dan pengambilan keputusan adalah bentuk emansipasi dan demokrasi nyata. Sebagai bentuk yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha perempuan untuk mendapatkan hak politik, kesetaraan dan persamaan derajat.
Belajar dari negara yang pernah mengalami pengekangan sistem otoritarianisme dan upaya perjuangan demokrasi rakyat partisipasi perempuan menjadi suatu gejala yang relative baru namun sangat menentukan dalan transisi otoriter menuju demokrasi. Perjuangan rakyat Amerika Latin dapat menjadi salah satu bahan pembelajaran yang sangat baik, mengingat mobilisasi politik perempuan di beberapa Negara Amerika Latin memiliki sejarah yang panjang. Dengan kemampuan dan kepercayaan perempuan duduk di legislative dan eksekutif merupakan bentuk keberhasilan kaum perempuan dalam proses pelepasan diri dari kedudukan sosial ekonomi dan dari pengekangan hukum yang membatasi kaum perempuan untuk berkembang dan maju.
Mengenang emansipasi dalam demokrasi, kita harus bersyukur atas perjuangan sosok Kartini yang memperjuangkan emansipasi perempuan dan melakukan perubahan tatanan sosial agar kaum perempuan mempunyai hak yang sama dengan kaum laki-laki. Bukan hal yang mudah bagi seorang Kartini untuk tetap memperjuangkan pendirian dan pendapat yang ada pada dirinya untuk bisa diterima oleh berbagai pihak. Priyayi jawa dengan pemikiran maju dan berani “melawan” hegemoni kaum lelaki yang sangat kuat pada masa itu, perjuangan dan perlawanannya diaktualisasikan dengan surat-suratnya kepada sahabat di Negara Belanda dan dibukukan dengan judul “ habis Gelap Terbitlah Terang”.
Keberhasilan perjuangan emansipasi perempuan sekarang sudah mulai di unduh dan menampakkan hasil dalam Negara demokrasi. Dalam negara demokrasi pengakuan perempuan atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah dan tataran kehidupan public menjadi penting. Terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan. Platform kksi Beijing dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW) merekomendasikan agar semua pemerintah di dunia memberlakukan kuota sebagai langkah khusus yang bersifat sementara untuk meningkatkan jumlah perempuan di dalam jabatan-jabatan appointif (berdasarkan penunjukan/ pengangkatan) maupun elektif (berdasarkan hasil pemilihan) pada tingkat pemerintahan lokal dan nasional. Hak perempuan 30 persen duduk di lembaga legislatif di Indonesia sebagai penghargaan hakiki. Sejalan legalitas dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perempuan dalam demokrasi menjadi salah satu penentu arah keadilan dan keberadaban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena perempuan tidak lagi berada di “dapur” sebagai kanca wingking, namun duduk bersama dalam menegakkan tatanan kehidupan demokrasi Negara.
Perempuan dalam bingkai sejarah memang selalu menjadi korban “sejati” dari kebijakan negara yang otoriter. Penindasan ekonomi politik dari kebijakan rezim selalu menimpa “lebih” terhadap perempuan, sehingga semakin jelas landasan kita untuk memahami, kepentingan perempuan terlibat dalam perlawanan anti rezim otoriter. Untuk menumbangkan rezim otoriter menuju sistem yang demokratis membutuhkan kesadaran dan juga perjuangan yang luar biasa militan dari seluruh tatanan sosial yang tertindas. Perempuan yang pada saat rezim otoriter “dianugerahi” posisi terbawah dari struktur sosial menjadi semakin berkepentingan untuk memastikan jalur dan kekokohan transisi demokrasi agar tidak terjerumus dalam penindasan yang berulang. Memang benar bahwa, demokrasi tidak serta merta menyelamatkan perempuan dari jebakan ketidaksetaraan, namun demokrasi adalah salah satu jembatan bagi perempuan untuk menuju pembebasan. Keseluruhan persoalan yang dihadapi oleh perempuan dalam masa kediktatoran baik yang bersifat gender praktis maupun gender strategis (Molyneux) membutuhkan partisipasi langsung dari perempuan terhadap struktur masyarakat yang baru jika tidak ingin dikembalikan pada “takdir ilmiahnya” setelah sistem demokrasi menemui singgasananya. Keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif, DPR dan DPD, diperlukan agar kepentingan perempuan tersuarakan dalam penyusunan kebijakan, program, terlebih soal anggaran yang berimplikasi pada hajat hidup orang banyak, tak terkecuali perempuan Indonesia.
Penulis adalah Anggota Departemen Kader
Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur