- 09 December 2025
- Ajeng Laksmita
UMPO.AC.ID - Suasana Auditorium lantai empat Gedung Rektorat Universitas Muhammadiyah Ponorogo (UMPO) pada Kamis, 4 Desember 2025, menjadi saksi bertemunya kembali ragam perspektif tentang Reyog Ponorogo. Dalam Diskusi Terpumpun Penguatan Hasil Kajian Analisis Ekosistem Reyog Ponorogo, masa lalu, masa kini, dan masa depan kesenian Reyog dirangkai dalam satu percakapan yang mempertemukan budaya, lingkungan, dan sains.
Kegiatan yang dibuka oleh Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, di antaranya Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim), akademisi UMPO, Yayasan Reyog Ponorogo, hingga para seniman serta penggerak sanggar. Tiga puluh peserta hadir dalam forum ini, membahas ulang bagaimana ekosistem budaya Reyog terbentuk dan bertahan hingga hari ini.
Tim Peneliti BPK Wilayah XI memaparkan hasil kajian mengenai Ekosistem Reyog Ponorogo dan perjalanan transformasi budayanya. Paparan mendalam itu disambut tanggapan dari Rektor UMPO serta perwakilan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo, yang menyoroti pentingnya literasi budaya, pendokumentasian yang berkelanjutan, serta riset yang mampu menangkap dinamika masyarakat.
Diskusi berlangsung aktif. Peserta menyadari bahwa pelestarian Reyog tidak hanya berkaitan dengan keberlangsungan pertunjukan, tetapi juga menyangkut upaya memahami kembali narasi filosofis yang menjadi fondasinya. Nilai-nilai ekologis, ingatan kolektif masyarakat Ponorogo, serta perubahan ruang hidup budaya menjadi topik yang muncul berulang kali.
Dari perspektif konservasi, Balai Besar KSDA Jawa Timur melalui Resort Konservasi Wilayah 06 Ponorogo kembali menekankan peran penting Merak Hijau ( Pavo muticus ), satwa dilindungi yang menjadi ikon dalam tampilan dadak merak. Kehadiran satwa ini menunjukkan bahwa Reyog bukan hanya ekspresi seni, tetapi juga representasi hubungan harmonis antara manusia, alam, dan kebudayaan.
Sebagai spesies liar yang populasinya kian terdesak, Merak Hijau menjadi pengingat bahwa estetika budaya bertumpu pada keberlanjutan lingkungan. KSDA Jatim menegaskan bahwa konservasi satwa tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan budaya yang hidup dari simbol-simbol ekologis tersebut.
Semangat sinergi antara pelestarian budaya dan pelestarian alam turut ditegaskan melalui prinsip “Membudayakan Konservasi dan Mengkonservasi Budaya.” Prinsip ini menjadi landasan penting di tengah tantangan era modern yang seringkali bergerak lebih cepat daripada ritme alam dan kebudayaan.
Pertemuan ini menegaskan satu hal: menjaga Reyog berarti juga menjaga lingkungan yang melahirkannya. Pelestarian budaya tidak bisa berdiri sendiri tanpa memahami dan merawat ekosistem yang menopang keberlangsungannya. Dialog lintas institusi ini diharapkan menjadi pijakan kuat untuk langkah pelestarian Reyog yang lebih holistik dan berkelanjutan.