- 23 September 2025
- Ajeng Laksmita
UMPO.AC.ID - Reog Ponorogo sebagai identitas budaya masyarakat Jawa Timur kembali mendapat perhatian istimewa setelah UNESCO menetapkannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda dengan status In Need of Urgent Safeguarding pada 2024. Predikat ini menjadi pengingat bahwa seni tradisi Reog tidak hanya milik Ponorogo, tetapi juga warisan dunia yang harus dijaga keberlangsungannya. Salah satu langkah strategis yang kini dilakukan adalah menghubungkan pelestarian budaya dengan dunia pendidikan melalui gagasan Cultural School of Ponoragan (CSoP) yang dikembangkan oleh dosen Universitas Muhammadiyah Ponorogo (UMPO) dan UNY yang di didanai oleh DPPM Kemenristekdikti Tahun 2025. Tim meliputi Dr. Sulton, M.Si, Dr. Ardhana Januar Mahardhani, M.KP, Dr. Yudan Hermawan, M.Pd, dan Nurtina Irsad M,Pd.
CSoP dirancang sebagai model sekolah budaya inklusif yang berlokasi di kawasan pembangunan Monumen Reog Ponorogo setinggi 126 meter di Kecamatan Sampung. Monumen yang tengah dikerjakan dengan progres 70 persen pada akhir 2024 itu diproyeksikan menjadi pusat budaya sekaligus ikon wisata baru Ponorogo. Di sinilah CSoP hadir sebagai penguat ekosistem pendidikan, pariwisata, dan budaya dalam satu tarikan napas.
Gagasan ini lahir melalui serangkaian forum diskusi yang melibatkan peneliti, akademisi, pemerintah, hingga seniman lokal. Rabu (20/8), digelar FGD kebutuhan sekolah budaya di Red Go, Ponorogo, yang menghadirkan tokoh seniman Reog Dedy Satya Amijaya, M.Sn, akademisi budaya, dan perwakilan Dinas Pendidikan. Diskusi ini menyoroti potensi besar Kecamatan Sampung yang memiliki puluhan lembaga pendidikan mulai dari PAUD hingga SMA/SMK yang dapat diarahkan sebagai sekolah berbasis budaya.
Masih di hari yang sama, forum berlanjut di Aula Desa Sampung, tepat di lokasi pembangunan Monumen Reog. FGD konsep model CSoP menghadirkan pakar budaya nasional Prof. Suwarno Dwijonagoro, M.Pd dan lokal untuk merumuskan kerangka konseptual sekolah budaya. Dari diskusi ini, mengemuka gagasan tentang sekolah inklusif yang tidak hanya mengajarkan seni Reog, tetapi juga mengintegrasikan sejarah, filosofi, serta nilai-nilai budaya ke dalam kurikulum.
Tahap berikutnya, Selasa (26/8), digelar sosialisasi buku Cultural School of Ponoragan di Hotel Amaris Ponorogo. Buku ini menjadi panduan bagi pemerintah, sekolah, dan masyarakat dalam mengembangkan CSoP di kawasan Monumen Reog. Sosialisasi ini sekaligus menandai komitmen bersama bahwa pelestarian budaya tidak berhenti pada seremoni, tetapi diwujudkan dalam desain pendidikan yang nyata dan berkelanjutan.
Hasil kajian tim peneliti menyebutkan, CSoP akan menginternalisasikan filosofi Jawa “Sura Dira Jayaningrat Dening Pangastuti” dalam pembelajaran sehari-hari. Nilai-nilai seperti pengendalian diri, kebijaksanaan, kerendahan hati, kasih sayang, cinta damai, tanggung jawab, dan kekuatan batin akan ditanamkan kepada peserta didik sebagai pondasi karakter. Sekolah budaya ini juga diharapkan mampu menjadikan 75 persen aktivitas pendidikan selaras dengan pengembangan pariwisata berbasis budaya di kawasan Monumen Reog.
Dengan konsep tersebut, CSoP bukan hanya hadir untuk melestarikan Reog sebagai kesenian, tetapi juga membangun identitas generasi muda Ponorogo, memperkuat daya tarik pariwisata, sekaligus menciptakan ekosistem pendidikan budaya yang berkelanjutan. Kehadirannya menjadi jawaban atas tantangan zaman: bagaimana warisan dunia seperti Reog Ponorogo dapat terus hidup, relevan, dan memberi makna bagi masyarakat kini maupun generasi mendatang.
(Kontributor: Betty Yulia Wulansari/FKIP UMPO)